Sabtu, 08 November 2025

Penerapan Awal Life Cycle Assessment (LCA) Berdasarkan ISO 14040 & ISO 14044

Produk: Air Mineral dalam Botol Plastik (PET)


1. Tujuan Studi (Goal)

Tujuan dari studi ini adalah untuk menilai potensi dampak lingkungan yang dihasilkan dari siklus hidup air mineral dalam kemasan botol plastik (PET). Analisis ini dilakukan untuk memahami sejauh mana proses produksi, distribusi, konsumsi, dan pembuangan akhir botol plastik berkontribusi terhadap emisi karbon, penggunaan sumber daya alam, serta timbulan limbah padat.Selain itu, hasil dari studi ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang alternatif desain produk atau kebijakan konsumsi yang lebih berkelanjutan.


2. Unit Fungsional

Unit fungsional yang digunakan dalam studi ini adalah 1 botol air mineral ukuran 600 ml.Unit ini dipilih sebagai dasar perbandingan untuk mengukur jejak lingkungan dari setiap tahapan siklus hidup, mulai dari produksi bahan baku hingga pembuangan limbah akhir.


3. Lingkup Studi (Scope)

Pendekatan LCA yang digunakan adalah cradle-to-grave, yaitu mencakup seluruh tahapan siklus hidup produk, dari ekstraksi bahan baku hingga tahap pembuangan akhir.
Batas sistem mencakup:

  • Produksi bahan baku (minyak bumi → PET resin)

  • Manufaktur botol (blow molding process)

  • Pengisian air dan pengemasan

  • Distribusi dan transportasi produk

  • Penggunaan oleh konsumen

  • Pembuangan akhir (daur ulang atau limbah plastik)

Tahapan yang dikecualikan dari studi ini adalah:

  • Pembuatan mesin produksi

  • Aktivitas administratif dan transportasi pekerja

  • Penggunaan energi dalam pendinginan air oleh konsumen (karena variasi tinggi dan kontribusi relatif kecil)


4. Diagram Sistem dan Batas Sistem

5. Inventaris Awal Input–Output Utama

Tahap

Input Utama

Output Utama

Produksi PET Resin

 

 

Minyak bumi, energi panas, bahan kimia katalis

Emisi CO₂ (±2,5 kg CO₂/kg PET), limbah cair, sisa bahan kimia

Manufaktur Botol (Blow Molding)

 

Energi listrik, preform PET, air pendingin

Botol plastik kosong, limbah plastik sisa cetakan

Pengisian & Pengemasan

 

 

Air bersih, energi listrik, plastik untuk tutup & label

Air limbah, sisa label & kemasan, emisi karbon

Distribusi & Transportasi

 

 

Bahan bakar (solar/bensin), kendaraan logistik

Emisi CO₂ dan NOโ‚“, kebisingan, konsumsi bahan bakar fosil

Konsumsi oleh Pengguna

 

 

Botol air, energi pendinginan (opsional)

Botol bekas (limbah potensial)

Pembuangan Akhir

 

 

Botol bekas, label, tutup

Sampah plastik, mikroplastik, potensi daur ulang (±10%)


6. Interpretasi Awal

Dari hasil inventaris, diketahui bahwa tahap dengan kontribusi dampak lingkungan terbesar terdapat pada produksi bahan baku (PET Resin) dan distribusi produk. Keduanya menyumbang sekitar 80–90% dari total emisi karbon siklus hidup.Tahap pembuangan juga memberikan dampak jangka panjang berupa akumulasi limbah plastik di TPA atau lingkungan perairan.

Penerapan solusi seperti menggunakan bahan daur ulang (rPET), desain botol ringan, serta sistem pengumpulan botol bekas dapat menurunkan emisi hingga 40–60%.Dari sisi konsumen, membawa botol isi ulang dan menghindari produk sekali pakai adalah langkah nyata dalam mengurangi dampak LCA produk ini.

Observasi Produk dan Analisis Input–Output Berdasarkan ISO 14040

Produk yang Diamati: Air Mineral dalam Botol Plastik

1. Identifikasi Produk

  • Nama Produk: Air mineral kemasan botol plastik (PET)

  • Fungsi Utama: Menyediakan air minum praktis dan higienis untuk kebutuhan harian.

  • Unit Fungsional: 1 botol air mineral ukuran 600 ml.

  • Batas Sistem: Meliputi proses dari ekstraksi bahan baku hingga pembuangan limbah botol.


2. Tahapan Produksi dan Analisis Input–Output

Tahap Produksi

Input Utama

Output Utama

1. Ekstraksi Bahan Baku

Minyak bumi untuk bahan plastik (PET), air dari sumber mata air, energi listrik untuk pemompaan

Emisi CO₂ dari proses ekstraksi dan transportasi minyak, potensi gangguan ekosistem sumber air

2. Produksi Bahan Plastik (PET Resin)

Energi tinggi untuk pemanasan, bahan kimia katalis

Emisi gas rumah kaca, limbah kimia, panas sisa

3. Pembuatan Botol (Blow Molding Process)

Listrik untuk mesin cetak, preform PET, pendingin air

Limbah plastik sisa cetakan, emisi panas

4. Pengisian dan Pengemasan

Air bersih, energi untuk mesin pengisian, plastik untuk tutup & label, kemasan karton

Air limbah, sisa label/tutup, emisi karbon dari mesin produksi

5. Distribusi dan Transportasi

Bahan bakar (solar/bensin), kendaraan logistik

Emisi CO₂ dan NOโ‚“, kebisingan, konsumsi bahan bakar fosil

6. Penggunaan oleh Konsumen

Pendinginan (lemari es), energi listrik (opsional)

Tidak signifikan, hanya konsumsi energi

7. Akhir Masa Pakai (Limbah)

Botol plastik bekas, label, tutup

Limbah padat non-biodegradable, potensi mikroplastik, sebagian kecil didaur ulang


3. Analisis Berdasarkan Prinsip ISO 14040

  • Goal and Scope Definition:
    Tujuan analisis ini adalah untuk mengidentifikasi potensi dampak lingkungan dari air mineral kemasan plastik dengan batas sistem cradle-to-grave (dari bahan baku hingga pembuangan).
    Unit fungsional yang digunakan adalah satu botol air mineral 600 ml.

  • Inventory Analysis (LCI):
    Berdasarkan laporan PlasticsEurope (2022) dan studi dari The Guardian (2023), produksi satu botol plastik PET 600 ml menghasilkan sekitar 82 gram CO₂-eq emisi gas rumah kaca, dengan konsumsi energi sekitar 0,3–0,5 MJ per botol.
    Di Indonesia sendiri, data dari KLHK (2024) menunjukkan bahwa produksi limbah botol plastik mencapai lebih dari 4 juta ton per tahun, dan hanya 9–12% yang berhasil didaur ulang secara efektif.

  • Impact Assessment (LCIA):
    Dampak utama meliputi:

    • Pemanasan global (global warming potential): 90% emisi berasal dari tahap produksi dan distribusi.

    • Deplesi sumber daya alam: penggunaan minyak bumi untuk PET menambah tekanan terhadap sumber daya fosil.

    • Polusi plastik: sekitar 80% sampah laut Indonesia berasal dari kemasan sekali pakai, termasuk botol air mineral.

    • Degradasi ekosistem air: pengambilan air dari sumber alami secara berlebihan mengancam ketersediaan air tanah di beberapa wilayah.

  • Interpretation:
    Walaupun air mineral kemasan memberi kenyamanan dan kepraktisan, dampak lingkungannya signifikan.
    Upaya pengurangan dampak dapat dilakukan dengan:

    • Mengganti bahan kemasan menjadi rPET (recycled PET), yang bisa menurunkan emisi hingga 50%.

    • Mengembangkan sistem refill station atau isi ulang galon kecil untuk mengurangi kemasan sekali pakai.

    • Edukasi konsumen tentang pentingnya memilah dan mengembalikan botol bekas ke pusat daur ulang.


4. Refleksi Pribadi

Dari observasi ini, saya belajar bahwa di balik kesederhanaan sebotol air mineral, terdapat rantai proses industri yang panjang dan penuh konsekuensi ekologis. Dari eksploitasi minyak bumi untuk membuat plastik, penggunaan energi tinggi dalam pembuatan botol, hingga limbah yang berakhir di laut, semuanya menciptakan jejak karbon yang besar. Ironisnya, botol ini hanya digunakan beberapa menit, tapi bisa mencemari lingkungan selama ratusan tahun.

Sebagai konsumen, saya merasa punya tanggung jawab untuk tidak lagi menganggap enteng produk sekali pakai. Membawa tumbler pribadi, memilih air isi ulang, dan mendukung produsen yang menggunakan rPET adalah langkah kecil tapi berdampak besar. Produk seperti air mineral dalam botol plastik seharusnya menjadi pengingat bahwa kemudahan yang kita nikmati hari ini bisa menjadi beban besar bagi bumi di masa depan.

♻️ Analisis Siklus Hidup Sedotan Plastik: Pendekatan Life Cycle Thinking (LCT)

 

๐Ÿ“˜ Narasi Analisis

1. Alasan Pemilihan Produk dan Relevansinya

Sedotan plastik merupakan salah satu simbol paling kuat dari budaya konsumsi sekali pakai (single-use culture). Produk ini terlihat sepele, tetapi penggunaannya sangat masif. Menurut data Ocean Conservancy (2021), lebih dari 8,3 miliar sedotan plastik ditemukan di pantai dunia. Di Indonesia sendiri, diperkirakan terdapat 93 juta sedotan plastik yang digunakan setiap hari, terutama di sektor kuliner dan ritel (Data Greeneration Foundation, 2020). Jumlah ini menunjukkan bahwa dampaknya terhadap lingkungan tidak bisa dianggap remeh.

2. Batas Sistem dan Asumsi

Dalam pendekatan Life Cycle Thinking, batas sistem mencakup lima tahap utama: ekstraksi bahan baku, produksi, distribusi, konsumsi, dan akhir masa pakai. Asumsi utama dalam analisis ini adalah:

  • Bahan baku utama: polipropilena (PP) dari minyak bumi.

  • Energi produksi: 2,5 MJ per 1.000 sedotan (estimasi global).

  • Transportasi: jarak distribusi rata-rata 100–300 km.

  • Penggunaan: satu kali sebelum dibuang.

  • Akhir masa pakai: 99% berakhir di TPA, 1% daur ulang atau terbakar.

3. Analisis Dampak Lingkungan per Tahap

  • Ekstraksi bahan baku:
    Proses penambangan dan pemurnian minyak bumi menghasilkan emisi karbon tinggi dan konsumsi air besar. Sekitar 1,8 kg CO₂eq dihasilkan untuk setiap 1 kg polipropilena yang diproduksi.

  • Produksi:
    Tahap ini memerlukan energi termal dan listrik untuk peleburan plastik, pencetakan, dan pengepakan. Limbah cair dan gas dari pabrik juga berpotensi mencemari udara dan air.

  • Distribusi:
    Walaupun sedotan ringan, volume besar menyebabkan penggunaan bahan bakar signifikan dalam transportasi. Emisi tambahan berasal dari proses logistik dan rantai pasok global yang panjang.

  • Konsumsi:
    Durasi penggunaan yang sangat singkat (hanya beberapa menit) membuat rasio “energi produksi vs waktu pakai” sangat tidak efisien.

  • Pengelolaan limbah:
    Sedotan sulit dikumpulkan dan tidak ekonomis untuk didaur ulang karena ukurannya kecil. Mayoritas berakhir di laut, menjadi mikroplastik yang membahayakan biota laut. Penelitian LIPI (2020) menyebutkan bahwa ±0,27 juta ton plastik dari Indonesia berpotensi mencemari laut setiap tahun, sebagian berasal dari limbah sekali pakai seperti sedotan.

4. Refleksi dan Rekomendasi Desain Ulang

Dari perspektif Life Cycle Thinking, sedotan plastik adalah contoh nyata produk dengan siklus hidup yang sangat pendek tetapi dampak lingkungan yang panjang. Upaya desain ulang dapat diarahkan pada:

  • Menggantikan bahan baku dengan bioplastik berbasis pati jagung atau tebu.

  • Mendorong transisi ke sedotan multi-use (stainless, bambu, kaca).

  • Mengurangi konsumsi melalui kampanye “no straw movement” di sektor kuliner.

Sebagai konsumen, perubahan sederhana seperti menolak sedotan saat membeli minuman sudah merupakan langkah kecil namun berarti dalam mengurangi tekanan lingkungan dari rantai siklus hidup produk ini.

๐Ÿงป “Tisu: Si Kecil yang Diam-Diam Bikin Bumi Berdarah”

Pernah nggak sih lo mikir, benda yang paling sering lo pakai tapi paling jarang lo sadarin dampaknya? Yup, tisu. Dari lap ingus sampe bersihin tumpahan kopi, benda ini kayaknya nggak berdosa sama sekali. Tapi ternyata, di balik kelembutannya, tisu punya jejak lingkungan yang cukup nyeremin.

๐Ÿงป Identifikasi Produk

  • Nama produk: Tisu wajah dan tisu dapur

  • Fungsi utama: Membersihkan, menyerap cairan

  • Perkiraan masa pakai: Sekali pakai (beberapa detik aja sebelum dibuang)

๐Ÿ” Fase Siklus Hidup Tisu

  1. Ekstraksi bahan baku
    Tisu berasal dari pulp kayu — yang berarti butuh pohon. Di Indonesia, industri pulp dan kertas masih jadi penyumbang deforestasi besar. Antara 2017–2022, tingkat deforestasi yang disebabkan sektor ini naik lima kali lipat.
    Bahkan, produksi pulp di sini nyumbang rata-rata 103,4 juta ton CO₂eq per tahun. Bayangin aja, semua itu demi selembar tisu yang lo pakai cuma beberapa detik.

  2. Proses produksi
    Di tahap ini, air jadi kebutuhan utama. Salah satu pabrik di Bogor, PT Aspex Kumbong, pakai sekitar 12,3 ton air buat bikin satu ton tisu, dan mereka targetin supaya bisa turun ke 11 ton/ton di 2024.
    Kedengarannya sedikit? Nggak juga. Kalau dikali total produksi nasional, itu udah kayak jutaan liter air cuma buat sesuatu yang ujung-ujungnya dibuang.

  3. Distribusi dan transportasi
    Dari pabrik ke supermarket, truk-truk ngangkut ribuan ton tisu setiap hari. Bensin kebakar, emisi naik, dan semua itu cuma buat jaga stok tisu di rak-rak toko.

  4. Penggunaan oleh konsumen
    Tahap paling singkat. Sekali usap, buang. Tapi justru di sinilah letak masalahnya: penggunaannya masif dan cepat banget.

  5. Akhir masa pakai / limbah
    Setelah dipakai, tisu nggak bisa didaur ulang (karena udah kena air, minyak, atau kotoran). Akhirnya jadi bagian dari sampah kertas nasional yang nyumbang sekitar 10,7% dari total limbah di Indonesia.

๐ŸŒ Dampak Lingkungan

  • Konsumsi energi tinggi di pabrik pemrosesan.

  • Emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan transportasi.

  • Penggunaan air besar buat setiap ton produksi.

  • Limbah padat meningkat, karena tisu nggak bisa didaur ulang.

  • Potensi reuse? Hampir nggak ada — beda sama handuk kain atau serbet.

๐Ÿ’ญ Refleksi Pribadi

Yang paling mind-blowing buat gue adalah fakta bahwa hal sekecil tisu bisa berkontribusi segede itu terhadap kerusakan lingkungan. Selama ini gue kira masalah besar itu ya di pabrik semen, plastik, atau mobil listrik. Ternyata, tisu — si lembut tak berdosa — punya peran besar juga.

Solusinya? Desain ulang tisu bisa jadi kuncinya. Misal, pakai bahan daur ulang, serat bambu, atau kemasan ramah lingkungan. Tapi yang paling penting sebenernya dari kita sendiri. Gue mulai mikir buat ngurangin pemakaian tisu, ganti ke serbet kain, atau minimal make tisu sampai benar-benar habis satu lembar.

Kadang perubahan besar justru dimulai dari hal sekecil selembar tisu. Karena kalau jutaan orang mulai sadar, efeknya bakal jauh lebih gede dari yang kita bayangin.

Rabu, 22 Oktober 2025

Critical Review Implementasi Circular Economy

A. Identifikasi Sumber 

Judul: Strategy on Circular Economy Transition: A Case Study of Agro-Industry Company in Indonesia
Penulis: Sri Setiawati Tumuyu & Lusye Marthalia
Tahun Publikasi: 2024
Sumber: Journal for Industrial Policy & Development (JIPD)

B. Ringkasan Eksekutif 

Artikel ini membahas bagaimana sebuah perusahaan agroindustri di Indonesia menerapkan prinsip Circular Economy (CE) dalam kegiatan produksinya untuk mencapai keberlanjutan dan efisiensi sumber daya. Tujuan studi ini adalah untuk mengidentifikasi strategi transisi menuju ekonomi sirkular dan dampaknya terhadap kinerja lingkungan serta ekonomi perusahaan. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara dan observasi proses produksi. Temuan utama menunjukkan bahwa penerapan konsep sirkular berhasil mengurangi limbah padat hingga 30% dan menurunkan biaya produksi melalui pemanfaatan kembali hasil samping produksi menjadi bahan baku alternatif.


C. Analisis Prinsip Circular Economy 

Prinsip yang paling dominan diterapkan dalam kasus ini adalah Reduce, Reuse, dan Recycle, dengan tambahan Recover dan Remanufacture pada beberapa proses.

  • Reduce: perusahaan menerapkan efisiensi energi dan air melalui sistem sirkulasi tertutup.

  • Reuse: limbah organik dari proses pengolahan bahan baku digunakan kembali sebagai pupuk cair dan padat.

  • Recycle: sisa hasil produksi diolah menjadi bahan pakan ternak dan bioenergi.

  • Recover: gas metana dari proses fermentasi diambil untuk pembangkit energi internal.

  • Remanufacture: kemasan produk dikembalikan ke sistem produksi untuk digunakan ulang setelah proses sterilisasi.

Hasil implementasi menunjukkan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi karena perusahaan mampu menurunkan ketergantungan terhadap bahan baku baru hingga 25% dan menekan emisi karbon sekitar 18% dalam dua tahun terakhir.


D. Evaluasi Kritis 

Kelebihan utama implementasi CE pada studi ini adalah adanya commitment kuat dari manajemen dan dukungan kebijakan internal yang berorientasi pada efisiensi sumber daya. Namun, kelemahannya terletak pada keterbatasan teknologi pengolahan limbah skala besar dan kurangnya sinergi dengan sektor lain dalam rantai pasok. Hambatan utama yang dihadapi adalah biaya awal investasi teknologi sirkular yang tinggi serta kurangnya tenaga ahli lokal di bidang pengelolaan limbah industri. Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia, implementasi seperti ini sangat relevan karena sektor agroindustri merupakan penyumbang limbah terbesar dan memiliki potensi besar untuk diubah menjadi sumber energi terbarukan dan produk bernilai tambah.\\


E. Kesimpulan dan Rekomendasi 

Studi ini memberikan pelajaran penting bahwa penerapan prinsip Circular Economy dalam industri agro tidak hanya meningkatkan efisiensi sumber daya tetapi juga memberikan keuntungan ekonomi jangka panjang. Ke depan, perlu adanya kolaborasi lebih erat antara pemerintah, industri, dan lembaga riset untuk mempercepat adopsi teknologi sirkular yang lebih terjangkau dan ramah lingkungan. 

Reflektif: Ekologi Industri di Kalundborg Symbiosis

 Identitas Video

Judul: Kalundborg Symbiosis – The World’s First Industrial Symbiosis
Sumber/Platform: YouTube – Kalundborg Symbiosis Official
Durasi: ±7 menit
Organisasi: Kalundborg Symbiosis (Denmark)


Ringkasan Singkat

Video ini menjelaskan konsep industrial symbiosis yang pertama kali diterapkan di Kalundborg, Denmark. Dalam sistem ini, berbagai perusahaan di kawasan industri saling bertukar sumber daya seperti air, uap, panas, dan limbah hasil produksi. Limbah dari satu industri dimanfaatkan sebagai bahan baku bagi industri lainnya. Contohnya, limbah panas dari pembangkit listrik digunakan untuk memanaskan rumah penduduk dan fasilitas publik, sementara residu gipsum dari proses kimia digunakan dalam produksi material bangunan. Sistem ini menunjukkan bagaimana kolaborasi lintas sektor dapat menciptakan efisiensi energi, mengurangi emisi karbon, serta menekan limbah yang terbuang ke lingkungan. Kalundborg menjadi model dunia dalam penerapan prinsip ekonomi sirkular dan ekologi industri yang berkelanjutan.


Insight Kunci

Dari video ini, ada beberapa wawasan penting yang bisa diambil. Pertama, penerapan industrial symbiosis di Kalundborg menunjukkan bagaimana efisiensi sumber daya bisa tercapai lewat kerja sama antarindustri, bukan kompetisi. Setiap perusahaan berperan sebagai bagian dari ekosistem yang saling bergantung, menciptakan siklus ekonomi yang lebih hijau. Kedua, praktik ini memperlihatkan prinsip utama ekologi industri, yaitu waste equals food — limbah dari satu proses menjadi bahan bagi proses lain. Hasilnya, emisi CO₂ berkurang drastis dan pemakaian sumber daya alam baru bisa ditekan. Ketiga, inovasi ini membuktikan bahwa keberlanjutan bisa berjalan berdampingan dengan keuntungan ekonomi. Kolaborasi tersebut bukan hanya berdampak positif bagi lingkungan, tetapi juga meningkatkan efisiensi biaya operasional perusahaan. Inilah contoh nyata bagaimana konsep circular economy dapat diterapkan secara konkret dan menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, serta ekologis secara bersamaan.


Refleksi Pribadi

Menonton video ini membuat saya sadar bahwa keberlanjutan bukan sekadar slogan, tetapi sistem yang bisa benar-benar diterapkan jika ada komitmen dan kolaborasi. Saya merasa konsep industrial symbiosis seperti di Kalundborg sangat relevan bagi Indonesia, terutama di kawasan industri besar seperti Cikarang, Gresik, atau Batam. Dengan potensi sumber daya dan volume limbah industri yang tinggi, praktik seperti ini bisa jadi solusi untuk efisiensi energi dan pengurangan pencemaran lingkungan. Selain itu, kerja sama lintas sektor antara pemerintah, swasta, dan masyarakat juga menjadi kunci keberhasilan sistem ini. Dalam konteks bidang studi saya, konsep ini mengajarkan pentingnya berpikir sistemik — melihat industri sebagai bagian dari ekosistem yang saling memengaruhi. Nilai yang paling berharga bagi saya adalah bagaimana inovasi bisa lahir dari kesadaran untuk saling berbagi manfaat. Di masa depan, saya ingin terlibat dalam proyek atau riset yang menerapkan prinsip circular economy agar industri di Indonesia bisa berkembang tanpa merusak lingkungan.

Penerapan Awal Life Cycle Assessment (LCA) Berdasarkan ISO 14040 & ISO 14044

Produk: Air Mineral dalam Botol Plastik (PET) 1. Tujuan Studi (Goal) Tujuan dari studi ini adalah untuk menilai potensi dampak lingkungan...